4 Dekade Satelit RI: Dari Misi Pemersatu ke Peran Kunci yang Cepat

Table of Contents

, JAKARTA — Perjalanan satelitdi Indonesia berkembang secara cukup cepat. Sebagai negara kepulauan, ketersediaan konektivitas melalui satelit sangat diperlukan karena sangat sulit untuk membangun infrastruktur.telekomunikasidari ujung Aceh sampai Papua.

Perkembangan teknologi satelit terus berlanjut sejak masa Presiden Soeharto hingga Presiden Prabowo Subianto.

Peran Indonesia di dunia satelit dimulai 49 tahun yang lalu ketika Satelit Palapa A-1 diluncurkan. Satelit pertama negara ini memiliki berat 574 kilogram dengan tinggi sekitar 3,7 meter (termasuk antena) dan diameter 1,9 meter. Satelit Palapa A-1 berada di orbit pada 9 Juli 1976 dari Cape Canaveral, Amerika Serikat.

Pada masa itu, Satelit Palapa 1 dikenal juga dengan nama Sistem Komunikasi Satelit Domestik (SKSD). Kata 'Domestik' digunakan karena pada saat itu hanya tiga negara di dunia yang memiliki satelit sendiri, yaitu Amerika Serikat, Kanada, dan Indonesia.

Di sisi lain, Presiden Soeharto memutuskan menggunakan nama Palapa sebagai pengingat akan janji Gajah Mada yang bertujuan menyatukan seluruh wilayah.

Dalam konteks satelit Palapa, dengan kehadiran Satelit Palapa I, seluruh wilayah Indonesia telah terhubung melalui komunikasi satelit. Layanan radio, televisi, dan telekomunikasi dapat disediakan oleh teknologi ini, sehingga Indonesia tidak hanya memiliki kedaulatan dari segi militer, tetapi juga dari sisi sistem komunikasi.

Setelah Satelit Palapa A-I, Indonesia kembali mengirimkan satelit kedua bernama Palapa A-2. Satelit ini sebenarnya merupakan cadangan yang akan digunakan jika terjadi gangguan pada satelit A-1.

Kehadiran satelit cadangan sangat penting agar layanan yang telah dijanjikan oleh satelit tetap dapat berjalan dengan baik. Di sisi lain, satelit cadangan juga mampu meningkatkan kapasitas satelit utama sehingga pelayanan yang diberikan menjadi lebih maksimal.

Diluncurkan menggunakan roket yang sama, yaitu Delta 2914, pada bulan Maret 1977 diharapkan mampu mempertahankan kestabilan komunikasi.

Pasca Palapa A-2

Dikutip dari situs Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti) pada periode 1983-1990, pemerintah kemudian mengeluarkan Satelit Palapa B-1 melalui pesawat STS dalam misi ke-7 Challenge.

Dikembangkan oleh perusahaan yang sama dengan satelit Palapa A, satelit ini dioperasikan melalui stasiun pengendali di Elsegundo, California, yaitu Pusat Pengendali Operasi dan SPU (Stasiun Pengendali Utama) Cibinong serta Fillmore di Kota Ventura.

Layanan satelit ini lebih luas, mencakup kawasan Asia Tenggara, di mana sejumlah negara memiliki wilayah yang terdiri dari pulau-pulau.

Langkah pemerintah dalam mengirimkan satelit tidak sepenuhnya lancar. Pemerintah juga pernah mengalami kegagalan dan kerugian. Satelit yang menjadi alternatif dari Satelit Palapa B-1 saat diluncurkan mengalami kegagalan pada tanggal 3 Februari 1984 karena mesin perigee tidak beroperasi dengan optimal. Akibatnya, satelit tersebut terjebak di orbit yang salah sehingga tidak bisa digunakan sesuai rencana.

Oleh karena itu, untuk menggantikan Satelit Palapa A-1 dan Satelit Palapa A-2 yang telah melewati masa pakainya, pemerintah akhirnya menginisiasi proyek Satelit Palapa B-2 Pengganti atau disebut singkat dengan B2P.

Pada 20 Maret 1987, satelit B2P diluncurkan dengan metode biasa menggunakan sistem roket, sama seperti satelit A-1 dan A-2. Kejadian ini terjadi akibat kecelakaan pesawat Challenger yang meledak di udara dan menyebabkan kematian bagi awak pesawat tersebut. Akibatnya, peluncuran yang sebelumnya direncanakan pada tahun 1986 ditunda hingga tahun 1987.

Pada periode 1996 hingga 1999, atau di akhir masa pemerintahan Soeharto, pemerintah mengeluarkan satelit Palapa C1. Ini merupakan satelit komunikasi pertama dari generasi Palapa C yang diluncurkan pada 31 Januari 1996, namun dinilai tidak dapat beroperasi secara normal pada 24 November 1998 akibat kerusakan baterai.

Satelit ini dibuat oleh Hughes dan diluncurkan oleh PT Satelindo, dengan tujuan menggantikan satelit Palapa B4 yang berada di orbit geosinkron 113°BT. Kegagalan Palapa C-1 memicu peluncuran satelit pengganti bernama Palapa C2.

Setelah 10 tahun, Indonesia kembali mengirimkan Satelit Palapa D yang diproduksi oleh Thales Alenia Space di Prancis dan dikelola oleh PT Indosat Tbk. guna menggantikan Palapa C2, dengan jangkauan wilayah Asia, Asia Tenggara, serta seluruh Indonesia.

Era Satria ....

Satria-1 dan masa satelit internet

Pada tahun 2023, Indonesia memasuki masa baru dalam industri satelit dengan kehadiran Satelit Multifungsi Satria-1.

Satelit Satria-1 merupakan alat multi fungsi yang dimiliki oleh pemerintah Indonesia, dirancang untuk meningkatkan ketersediaan akses internet nasional, terutama di daerah terpencil, terluar, dan tertinggal (3T), serta fasilitas umum di seluruh wilayah Indonesia.

Satria-1 adalah satelit pertama di Indonesia yang memanfaatkan teknologi Very High Throughput Satellite (VHTS) dengan frekuensi Ka-Band, memiliki kapasitas transmisi hingga 150 Gbps—sehingga menjadi satelit terbesar di Asia dan berada di peringkat kelima dunia.

Awalnya, satelit ini ditujukan untuk melayani 150.000 titik. Namun, dengan mempertimbangkan situasi saat ini di mana sebagian besar titik telah terjangkau internet dan permintaan internet yang semakin meningkat di setiap titik, akhirnya jumlah titik yang terlayani dikurangi menjadi 34.000 titik.

Namun, kapasitas yang dimiliki Satria-1 jauh lebih besar meskipun seluruh kapasitas 9 satelit di Indonesia digabungkan.

Setelit Satria-1 mengusung teknologi pemrosesan digital terkini dan dijalankan melalui platform SpaceBus Neo Level 6, sehingga mampu bertahan dalam operasi hingga 15 tahun. Umur satelit ini lebih panjang dibandingkan Satelit Palapa, yang merupakan satelit generasi pertama Indonesia, dengan masa pakai hanya 7 tahun.

Satria-1 dibuat oleh Satelit Nusantara Tiga dan dirakit oleh Thales Alenia Space (TAS) di Prancis—memiliki lima panel surya serta tiga antena reflektor khusus.

Sementara itu, nilai investasi Satelit Satria-1 tercatat sebesar US$540 juta atau kira-kira Rp8 triliun, angka ini meningkat dari estimasi awal sebesar US$450 juta akibat berbagai kebutuhan tambahan, termasuk aspek logistik pengiriman satelit dari Eropa ke Amerika untuk peluncuran.

Nama Satria merupakan kependekan dari Satelit Republik Indonesia. Sedangkan angka 1 awalnya menggambarkan bahwa satelit ini akan dibuat dalam seri seperti Satelit Palapa.

Rencana tersebut dijelaskan dalam rencana jangka pendek dan menengah Kementerian Komunikasi dan Informatika (kini disebut Komdigi).

Indonesia seharusnya memiliki satelit Satria-2 dengan kapasitas 300 Gbps, serta Satria-3 dengan kemampuan yang lebih besar dalam beberapa tahun mendatang. Namun, rencana tampaknya telah berubah.

Keterbatasan anggaran serta kehadiran satelit orbit rendah (LEO) Starlink yang menawarkan biaya lebih terjangkau dibandingkan satelit tradisional telah mengubah segalanya.

Era Starlink

Starlink secara resmi memasuki dan mulai beroperasi di Indonesia pada 19 Mei 2024, ditandai dengan peluncuran layanan pertamanya yang diresmikan langsung oleh Elon Musk di Bali bersamaan dengan World Water Forum (WWF) ke-10.

Satelit Starlink, yang dibuat oleh SpaceX, memberikan keunggulan utama berupa kecepatan tinggi, latensi rendah, serta cakupan luas karena menggunakan teknologi Low Earth Orbit (LEO).

Starlink mampu menawarkan kecepatan unduh hingga 1 Gbps dan unggah hingga 20-24 Mbps, melebihi target awal sebesar 100 Mbps, sehingga memungkinkan streaming, bermain game, serta aktivitas yang membutuhkan data tanpa gangguan.

Selain itu, latensi yang ditawarkan juga rendah, sekitar 20-27 milidetik, jauh lebih cepat dibandingkan satelit GEO seperti Satria-1 (477 milidetik), sehingga sangat responsif untuk panggilan video dan aplikasi berbasis real-time.

Dari segi pemasangan juga tergolong mudah, proses pemasangan yang sederhana, kurang dari 30 menit, dengan kit yang mudah dikonfigurasi melalui aplikasi, tanpa memerlukan teknisi khusus.

Namun di balik kekuatannya, keamanan serta pengawasan terhadap Starlink menjadi perhatian. Pemerintah dikabarkan akan mengalami kesulitan dalam mengendalikan layanan ini yang berada di orbit rendah.

Hal ini terlihat dari bagaimana Starlink pernah menghentikan layanannya di Indonesia. Starlink juga belum menunjukkan komitmennya dalam berinvestasi, dan - yang membuat perusahaan telekomunikasi kesal - tidak ada kewajiban USO atau pembangunan infrastruktur untuk teknologi yang sama-sama menjual produk konektivitas.

Pemerintah hingga saat ini belum memberlakukan kewajiban yang sama antara Starlink dengan perusahaan telekomunikasi. Starlink beroperasi tanpa tanggung jawab investasi, tidak membayar USO, dan tidak memiliki komitmen lainnya meskipun layanannya mirip dengan pemain telekomunikasi dan langsung menjangkau pasar ritel.

Apakah Starlink Cepat? 

Pada perkembangannya, kecepatan layanan Starlink semakin menurun. Perusahaan analisis jaringan seluler global, Opensignal, melaporkan bahwa kecepatan internet Starlink di Indonesia mengalami penurunan yang signifikan setelah beroperasi selama satu tahun.

Dalam laporan terbaru dengan judul 'Starlink di Indonesia—Satu Tahun Berlalu', perusahaan riset jaringan global tersebut mencatat terjadinya kemacetan jaringan yang mengurangi secara signifikan kecepatan unduh dan unggah Starlink sejak peluncurannya pada Mei 2024.

"Kecepatan Starlink mengalami penurunan signifikan. Kemacetan jaringan telah mengurangi kecepatan unduh Starlink hingga hampir dua pertiga, dan kecepatan unggah hingga sekitar setengahnya dalam 12 bulan sejak peluncuran," tulis Opensignal dalam laporan mereka yang dikutip Senin (13/10/2025).

Pada awal kehadirannya di Indonesia, Starlink mencatat kecepatan unduh rata-rata sebesar 42 Mbps dan unggah sekitar 10,5 Mbps. Namun, menurut data Opensignal, pada pertengahan 2025, kecepatan tersebut mengalami penurunan menjadi 15,8 Mbps untuk unduhan dan 5,4 Mbps untuk unggahan. Skor pengalaman video juga turun dari 58,1 menjadi 53,1.

Berdasarkan analisis perusahaan jaringan, penurunan ini terjadi karena peningkatan jumlah pengguna yang menyebabkan kepadatan jaringan. Opensignal mengatakan bahwa permintaan meningkat sangat cepat hingga Starlink sempat menghentikan sementara pendaftaran pelanggan baru. Ketika layanan kembali dibuka pada Juli 2025, pelanggan baru dikenakan biaya tambahan yang besar, berkisar antara US$490 hingga US$574 atau sekitar Rp8 juta hingga Rp9,4 juta.

Meskipun kecepatannya mengalami penurunan, Opensignal mencatatkan sisi positif berupa peningkatan konsistensi kualitas dari 24,2% menjadi 30,9% selama periode yang sama.

"Meskipun lebih perlahan, peningkatan Starlink dari tahun ke tahun dalam metrik ini menunjukkan penurunan latensi serta pengembangan infrastruktur," tambah lembaga riset tersebut.

Posting Komentar